“Variables dalam Penelitian”
Pagi itu, aku merasa sangat bahagia. Semua kegiatan rumah, aku selesaikan lebih awal. Kurapikan pakaianku, dan tak lupa sarapan. Aku ingin segera bergegas ke kampus.
Nampaknya jalan protokol masih belum terlalu ramai. Kuteruskan roda motorku menuju gazebo dekat perpustakaan. Aku hanya menjumpai petugas kebersihan yang asyik dengan sapunya. Hanya segelintir mahasiswa yang sudah siap dengan aktivitas akademik.
Tidak ada jam kuliah saat itu. Tapi aku sudah ada janji dengan teman setim. Arifa sudah izin lebih awal untuk datang telat. Wajarlah. Memang dia bermukim di pondok pesantren. Di pagi hari, dia harus hafalan quran. Sedangkan Aya sudah chat wa, akan tiba pukul 7.30. Dia harus berangkat dari luar kota untuk menuju kampus.
Pertemuan ini membahas naskah akademik untuk diikutkan dalam kompetisi. Ini kali pertama aku diajak oleh arifa mengikuti agenda di luar kampus.
Aku sangat antusias menunggu jalannya diskusi perdana di timku ini. Walaupun aku terbilang awam dalam hal tulis menulis. Tapi semngatku untuk belajar menulis, mungkin cukup kuat. Baru kubaca selembar dari bukunya Cresswell (2018) yang kupinjam dari perpustakaan. Aya datang dan menyapa,
“Assalamualaikum Anas….. Sorry ya udah buat kamu nunggu”
“Waallaikumsalam…. Biasanya juga sering nungguin” jawabku sambil bercanda.
Aya terlihat semangat. Dia langsung mengambil tempat duduk dan mengeluarkan buku kecil beserta penanya. Tanpa basa basi, dia langsung menyampaikan ide-idenya.
“Ada banyak variabel yang sangat cocok dengan topik perlombaaan. Bagaimana kalau kita mengukur tingkat antusiasme mahasiswa terhadap literasi digital?”
Aku yang masih newby dalam tulis menulis, kata variabel terdengar baru. Secara langsung aku minta klarifikasinya.
“Maaf Aya, aku belum ngerti apa itu variabel.”
Tanpa diminta Aya menjelaskan.
“Variabel itu merupakan karakteristik-karakteristik yang membedakan dari suatu individu dengan individu yang lainnya (Charles, C.M. 1995). Variabel itu harus dinyatakan secara gamblang…….(Adnan, 2019).”
Aku menyela,
“Kalau prestasi mahasiswa, apakah bisa disebut variabel?”
“Itu kurang jelas. Perlu dipertegas lagi, prestasi apa yang dimaksud. Misalkan, prestasi mahasiswa UIN Tulungagung di bidang literasi. Itu baru jelas. Jadi bisa diukur seberapa besar prestasinya. Paham?”
“Thanks Aya. Cukup memahamkan.” Aku terjemahkan lagi,” “Berarti dari contoh yang kamu berikan, yang dimaksud variabel, yaitu ada karakteristik tertentu dari prestasi literasi mahasiswa A, B, C,….dst, sehingga dapat dibedakan antara mahasiswa satu dan lainnya.”
Aya menjawab,”Tepat. Prestasi mahasiswa di bidang literasi tersebut dapat dihubungkan dengan variabel lainnya. Misalkan dihubungkan dengan tingkat kunjungan mahasiswa di perpustakaan. Jadi akan diperoleh data terkait prestasi literasi dan kunjungan di perpustakaan.”
Saat asyik-asyiknya diskusi, Arifa mengagetkanku dari belakang. Tampaknya Arifa juga sedikit memdengarkan perbincanganku dengan Aya. Dengan tampilan yang kePeDean, Arifa langsung menyahut
“Hayooo…. kalian lagi ngomongin aku yaaa, dengan gaya-gayaan diskusiin tentang variabel. Sekarang giliranku nas, untuk ngetes kamu! Aku ini kan cantik (sambil tersenyum). Bisa ndak kalau kecantikanku ini aku jadikan variabel penelitian?”
Aku menjawab
“Ya bisa dong. Kan variabel titik tekannya di katakteristik pembeda antara yang satu dan yang lainnya. Cantikmu bisa dibedakan dengan cantiknya Aya.”
Aya langsung menyela dan sedikit memakiku dengan gaya yang santai.
“Dasar laki-laki. Kalau udah urusan sama cewek cantik apa yang salah semua dianggap benar.”
“Gak gitu pula Ay, dasar sinis (sambil meledek)…. Tapi kan benar jawabanku ay. Kecantikan bisa dijadikan variabel penelitian. Misal, perempuan yang cantik dan kemampuan menggodanya. Ini Arifa sangat cocok dijadikan responden….” Aku menjawab sambil meledek Arifa.
Arifa yang merasa tersindir tidak terima. Dia memaki sambil menjelaskan.
“Heee nas, walaupun aku cantik. Tapi aku bukan penggoda ya.” Sambil menampakkan wajah yang seram. Kemudian dia menjelaskan, “Kecantikan itu gak bisa dijadikan variabel penelitian. Kamu tidak bisa menemukan ukuran yang jelas dan objektif dengan variabel cantik.”
Sambil melepas senyum manisnya dia melanjutkan pembahasannya dengan ke-PD-annya, “Mungkin kamu bisa menilaiku cantik. Tapi tidak dengan sang mantanku. Dia pasti menilaiku sebagai perempuan yang sangat buruk yang pernah dia temui.”
Nampaknya Arifa sangat emosional. Dia masih belum bisa move on dari masa lalunya. Arifa, memang perempuan yang sangat cantik. Bibir mungil dan gigi gingsul bikin para cowok latihan ijab khabul setiap harinya. Saat senyumnya menyapa, terlihat dengan jelas lesung pipinya, yang bikin kaum adam betah puasa sebulan dengan sekali makan, hanya untuk menunggu senyumannya.
Aya mencoba menyahut pembahasan Arifa. Dia mencoba membuat suasana lebih berwarna. “Betul tu nas, apa yang disampaikan Arifa. Cantik itu tidak bisa diukur. Beauty is as relative as light and dark. Thus, there exists no beautiful woman, none at all, because you are never certain that a still far more beautiful woman will not appear and completely shame the supposed beauty of the first (Paul Knee).”
“Kamu juga fa, jangan baper gitu dong. Masak yang dibahas variabel justru mantanmu yang dikenang. Emang mantanmu pahlawan?”
Suasana yang semula sedikit tegang, akhirnya pecah dengan sindiran Aya. Dia cewek yang manis dan sangat mudah bergaul. Karena karakternya yang ceria.
Tak terhitung berapa banyak cowok di kontak HP-nya. Selain itu Aya dipercaya memimpin organisasi ekstra di kampus kami. Nama dia cukup ternama di kalangan mahasiswa dan dosen.
Di tengah candaan kami, Aku mengklarifikasi pernyataan tentang variabel kecantikan. “Berarti selain variabel itu mempunyai karakteristik tertentu yang membedakan antara yang satu dan lainnya, variabel harus bisa diukur. Gitu yaa?
Arifa dan Aya kompak menjawab, “Betul”. Kemudian kami mendiskusikan agenda perlombaan yang kami ikuti. Aya yang menjadi sang inisiator agenda ini, dengan semangat menjelaskan master plannya. Kami mengikuti lomba karya tulis ilmiah di salah satu universitas ternama di Jogja. Tema besarnya, Kontribusi Generasi Milenial untuk Bangsa, tema tersebut dipecah dalam scope yang lebih kecil. Ada ekonomi, pendidikan, keagamaan, sosial, budaya, dan teknologi.
Pertemuan awal ini menentukan topik terbaik yang akan kami angkat. Karena Arifa datang telat, Aya sedikit mengulangi usulan topiknya, “Fa, aku tadi ada usulan terkait topik kita. Menurutku sangat cocok, kalau kita membahas literasi digital mahasiswa dan daya kritisnya. Bagaimana menurut kalian?”
Aku menyetujui usulannya. Karena memang aku sendiri masih sangat awam dibandingkan mereka berdua.
Arifa mencoba memperdalam usulan Aya. “Berarti itu nanti akan ditemukan variabel bebasnya (independent variable) berupa literasi digital sedangkan daya ktitis mahasiswa sebagai variabel terikat atau dependent variable.”
Aya yang mengetahui kemampuanku masih awam, sambil meledek dia menjelaskan. “Melihat muka Anas yang bengong, pasti dia belum tau tentang independent dan dependent variable.” Ejekannya inipun aku iyakan. Karena memang aku belum paham.
Arifa menambah ejekan Aya disertai dengan memberikan penjelasan yang lumayan gamblang. “Dasar kamu itu, kuliah cuma nambah koleksi cewekmu saja.” Aku tersenyum malu. Kemudian Arifa melanjutkan pembicaraannya. “Independent variable atau variabel bebas merupakan variabel yang dapat mempengaruhi variabel lain. Sedangkan variabel yang dipengaruhi adalah dependent variable atau varabel terikat. Dalam contoh yang disampaikan Aya, ketika menggunakan desain penelitian eksperimen, daya kritis mahasiswa diharapkan hanya dipengaruhi oleh literasi digital. Namun apabila ada variabel lain yang mempengaruhi, maka variabel itu disebut extraneous variable atau variabel asing. Misalkan ketika tes berlangsung dia gak bisa fokus karena diputus pacarnya. Variabel itu yang tidak bisa dikontrol akhirnya disebut extraneous variable.”
Arifa keliatan banget kalau dia masih dalam keadaan tidak stabil. Karena memang dia baru pertama kali pacaran, dan pertama kali juga dia patah hati. Padahal dia sudah ditinggal pacarnya 3 bulan lalu. Tapi rasanya dia masih saja candu.
Arifa memang sangat lihai memghubungkan pengalaman pribadinya dengan teori-teori. Hal ini dikuatkan oleh Aya. “Emang kamu tu bucin fa. Udah ditinggal 3 bulan, belum aja move on. Coba nas, kamu rayu dong si Arifa, syukur-syukur bisa kamu gandengin.”
Aya sambil tertawa terbahak-bahak. Tapi bukan itu konten utama yang ingin disampaikan. “Tapi ada hikmahnya, pengelamanmu bisa memahamkan Anas tentang variabel. Jadi bisa langsung mendapatkan gambaran konkretnya. Selain kamu harus memahami independent dan dependent variables, kamu harus mengerti istilah continuous dan discreate variables.”
Aku menyela dengan antusias, “Apa itu Ay?”
Pertanyaanku yang seharusnya kuberikan untuk Aya, justru Arifa yang menanggapi “Pembagian variables yang aku sampaikan, independent dan dependent variables, merupakan klasifikasi variables ditinjau dari perannya dalam penelitian. Sedangkan continuous dan discreate variables dilihat dari karakteristiknya. Coba Ay gantian kamu yang menjelaskan.”
Aya mengambil alih pembicaraan. “Variables dikatakan continuous jika variables itu menunjukkan perbedaan gradisional atau bertingkat. Biasanya ditandai dengan kata sifat, sangat. Misalnya sangat tinggi, sangat panjang, sangat cepat, dan sebagainya.”
Sebelum dijelaskan lebih lanjut, aku mencoba memperdalam. “Berarti variabel jenis kelamin atau profesi tidak dapat disebut continuous variable?”
Aya melanjutkan. “Tepat. Karena profesi misalkan penulis, itu tidak bisa digabung dengan kata, sangat. Kan gak mungkin kita menyebut, sangat penulis. Variabel jenis kelamin, status pernikahan profesi dan semacamnya merupakan variabel diskrit. Biasanya varibel diskrit itu digunakan untuk mengkategorikan orang. Misalkan ketika membahas profesi ada kategori guru, dosen, penulis, petani, pedagang, dan sebagainya. Sedangkan laki-laki dan perempuan masuk dalam kategori jenis kelamin, dan masih banyak contoh lainnya.”
Tampaknya Arifa juga mendapatkan sesuatu yang baru dari penjelasan Aya. Sehingga dia berusaha memperjelas. “Kalau variabel diskrit difungsikan untuk mengakategorikan, contoh yang digunakan dalam variabel kontinu (continuous variable) bisa juga dong. Misalkan variabel prestasi dapat diketgorikan menjadi prestasi yang tinggi, menengah dan rendah. Lantas apa perbedaan antara variabel kontinu dan variabel diskrit?”
Aya langsung menanggapi. “Variabel diskrit tidak dapat digabungkan dengan kata sangat. Tidak mungkin kita menyebut jenis kelamin dengan kata sangat, misalkan sangat laki-laki. Selain itu variabel diskrit tidak bisa digradasi atau diranking. Kita tidak bisa menyebut bahwa posisi perempuan lebih tinggi dari pada laki-laki, dan juga sebaliknya. Kita juga tidak bisa memposisikan seseorang di antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan variabel kontinu ada gradasinya, misalkan rendah, medium, atau tinggi.”
Penjelasan yang disampaikan Aya cukup membuka wawasanku terkait variabel. Kemudian aku langsung menghubungkan dengan topik perlombaan yang diajukan Aya. “Thanks Aya, atas penjelasanmu. Tolong dikoreksi yaaa. Terkait dengan topik yang diajukan Aya tadi, berarti, tingkat literasi digital dan daya kritis mahasiswa sebagai variabel kontinu. Jika kedua variabel itu digabungkan, literasi digital sebagai variabel X dan daya kritis mahasiswa sebagai variabel Y, akan memunculkan pertanyaan, apakah semakin banyak siswa melakukan literasi digital, daya kritis mahasiswa semakin meningkat? Bagaimana menurut kalian?”
Arifa mengomentari. “Betul juga nas. Tapi ada alternatif lainnya juga yang dapat dipilih. Aku berharap tulisan kita nanti mengukur efektifitas literasi digital untuk membangun daya kritis mahasiswa.”
Aya terlihat seperti ada yang mengganjal. Ada penjelasan yang belum disampaikan. Dia langsung memberikan tambahan. “Usulan kalian sangat bagus. Mumpung aku masih ingat, aku tambahkan penjelasanku tentang variabel diskrit. Variabel X yang diusulkan Arifa itu masuk dalam kategori variabel diskrit manipulatif. Artinya Arifa ingin literasi digital itu sebagai treatment sedangkan metode lain, seperti literasi cara konvensional, menjadi kontrolnya. Dengan menjadikan daya kritis mahasiswa sebagai variabel Y, maka rumusan permasalahan yang memungkinkan adalah, apakah mahasiswa yang menggunakan literasi digital mempunyai daya kritis yang lebih baik daripada mahasiswa yang menggunakan cara konvensional?”
Perasaan keingintahuanku tidak dapat dibendung. Aku menyimpulkan sekaligus mengecek pemahamanku. “Jika variabel yang disampaikan Arifa termasuk diskrit manipulatif, variabel jenis kelamin misalkan laki-laki atau perempuan termasuk variabel diskrit non manipulatif. Sehingga dapat disimpulkan, variabel diskrit non manipulatif adalah variabel yang kategorinya sudah ditetapkan secara natural. Tidak memerlukan test atau alat ukur lainnya untuk menentukan jenis kelamin laki-laki atau perempuan.”
Arifa terkesima dengan kesimpulanku. Dengan perasaan malu-malu, dia menyetujui pernyataanku. “Ternyata kamu patut diperhitungkan ya, Nas.” Dia tersenyum sambil merapikan kerudungnya.
Di tengah kesibukannya mencari file di laptop, Aya membenarkan kesimpulanku seraya mengejek Arifa. “Cie Arifa udah dapat chemistry nih dengan Anas. Tapi benar kok kesimpulan yang disampaikan Anas. Diskrit non manipulatif tidak memerlukan alat ukur untuk menggolongkannya. Kategorisasi variabel diskrit non manipulatif sudah selesai by nature.” Sambil mengetik key words di kolom pencarian google, Aya bicara di luar konteks. Dia menyimpulkan kecondongan Arifa yang terus-menerus mendukungku. “Heii Nas, Arifa udah ngasih kamu kode, masa harus dia yang ngungkapin perasaannya. Mana kejantananmu!”
Ucapan Aya tersebut sejenak menghentikan aktifitasku. Suasana menjadi canggung. Aku speechless. Yang terpikirkan hanyalah senyumnya Arifa yang begitu manis. Semua pembahasan terkait topik karya tulis ilmiah tiba-tiba berubah. Hanya konstruksi perasaan yang aneh dan detak jantung yang mulai menderu. Pikiranku tiba-tiba terfokus dengan lesung pipi Arifa dan gigi gingsulnya.
Konsentrasiku pecah. Mungkin perlu waring up sejam untuk memulihkan kondisi ini. Aku tak berani mendongakkan kepalaku. Perasaan yang aneh telah menyulap diriku. Dengan keadaan yang agak gugup, tangan kananku berusaha mengait mouse wireless di dalam tasku. Mouse yang aku pegang, tiba-tiba berubah menjadi pipinya Arifa. Bayanganku seperti mencubit pipinya Arifa. Tangan kiriku yang mencoba meraih pensil, yang kutemukan justru tanngannya Arifa. Kupegang erat pensilku seperti memegang jari-jarinya Arifa. Hingga kutaksadar pensilku patah.
Pikirku halu. Sesekali kulirik wajah Arifa. “Tampaknya dia sama sekali tak menyadari tingkahku yang berubah. Dia memang tipikal cewek yang dingin.” Sebutku dalam hati. Tapi aku gak tau itu penilaianku yang objektif atau kesimpulanku karena gak ada respon darinya.
Pikiranku tersadar saat tiba-tiba Arifabicara agak keras. “Hee.. Ayo kita lebih fokus. Jangan berguruau atau malah diem-dieman. Kita berkumpul di sini untuk berdiskusi. Bukan asyik dengan aktifitasnya masing-masing.”
“Hei ay, kalau mau browsing di rumah saja. Jangan disini.”
“Kamu juga nas, diajakin diskusi malah sibuk dengan tasmu. Emang kamu nyimpen cewek di dalam tasmu”
Nampaknya Arifa memperhatikanku. Aku jadi malu tak terhingga. Aku mencoba menutupinya. “Ayo kita Kembali pada topik yang perlu kita angkat!” itu saja dariku tanpa ada kata-kata lain.
Aya keliatannya lebih paham dengan kondisiku. “Kamu kok tiba-tiba jadi pendiam nas. Biasanya kamu yang banyak tanya dan memimpin bicara. Pasti kamu lagi bayangin Arifa.” Sambil memandangiku dan Arifa. Aya melanjutkan pembicaraannya dengan ciri khas ejekannya yang berbobot. “Hei fa. Dengarkan aku! Kamu tidak dapat mengukur seberapa besar cintanya Anas ke kamu dengan penelitian kuantitatif. Tapi bisa menggunakan pendekatan kualitatif untuk mempelajari perasaan kalian. Ingat! Sebelum itu kalian harus menguasai research problems. Supaya kalian bisa merumuskan pertanyaan penelitian atau research questions dengan tepat.”
Waw, another level buat ngejelasin variabel, suka sih sebenarnya dari penjelasan variabel nya sederhana dan mudah dimengerti, tapi agak kurang nyaman sama typingnya, hehehe.. agak luwes lagi ya mas brou,