BUDAYA DAN PERUBAHAN SOSIAL BERBASIS DESA DI ERA PANDEMI COVID-19

Jogo Tonggo: Membangkitkan Kesadaran Dan Ketaatan Warga Berbasis Kearifan Lokal Pada Masa Pandemi Covid-19 di Desa Karangtalun
Oleh: Arif Syaifuddin

Konsep gerakan Jogo Tonggo adalah konsep percepatan penanganan pageblug (bencana) pandemi Covid-19 berbasis masyarakat yang ditetapkan di Ds. Karangtalun. Jogo merupakan frase dalam bahasa Jawa yang berarti jaga atau menjaga, dan tonggo berarti tetangga, maknanya adalah saling menjaga tetangga. Pertimbangan bahwa masyarakatlah yang berhadapan langsung dengan penularan Covid-19, sehingga pencegahannya harus menempatkan mereka sebagai garda terdepan bersama pemerintah yang selalu mendukung. Konsep dilaksanakan pada tingkat Rukun Warga (RW) yang melibatkan masyarakat secara langsung untuk saling menjaga tetangga yang terdampak wabah, terpapar virus corona, dan secara langsung terdampak secara ekonomi. Pada beberapa kabupaten dan kota, Jogo Tonggo menjadi alternatif pilihan sebelum kebijakan PPKM diterapkan, karena ini akan berdampak lebih rumit.


Pandemi ini tidak hanya mengancam kesehatan warga, namun juga menghantam kelompok masyarakat dengan ekonomi bawah. Jogo Tonggo ini ditetapkan dengan harapan mampu menyentuh, menjadi solusi yang berarti dalam masyarakat. Melalui Satuan Tugas di setiap RW, akan terlaporkan kondisi, kegiatan sehari-hari anggota masyarakat dalam lingkungannya kepada pemerintah kelurahan. Sejak disosialisasikan, masyarakat merespon positif Jogo Tonggo sebagai salah satu upaya dalam pencegahan Covid-19 beserta dampaknya. Walaupun belum dilaksanakan secara menyeluruh dan serentak, namun tanda-tanda implementasi dan bentuk-bentuk upaya Jogo Tonggo ini berdasarkan hasil observasi secara langsung dan sumber penelusuran berita online, sudah mulai menggerakkan masyarakat untuk mengambil bagian di dalam upaya menekan penyebaran Covid-19.

Peningkatan kasus pasien terpapar Covid-19 menunjukkan kurangnya kesadaran dan ketaatan masyarakat (setiap warga). Antisipasi dan kesiapan menghadapi pandemi yang sangat terbatas dan ketidaksiapan masyarakat terhadap aturan, menjadi salah satu pemicu. Ketaatan masyarakat dalam masa pademi Covid-19 terhadap protokol yang telah ditetapkan pemerintah selama awal masa pandemi, dapat luntur oleh beberapa hal, misalnya desakan untuk mencukupi kebutuhan dasar mereka. Ini terjadi, khususnya masyarakat menengah ke bawah secara ekonomi. Jika melihat respon masyarakat setelah gerakan Jogo Tonggo disosialisasikan seperti deskripsi hasil observasi dan wawancara di atas, tergambar dengan jelas munculnya ketaatan masyarakat Karangtalun, semakin menguat terdorong oleh adanya jaring-jaring sosial yang mereka bentuk dan kelola secara masif di lingkungan mereka masing-masing. Jaring pengaman sosial dan keamanan dalam masyarakat mulai bekerja, demikian juga jaring ekonomi terbentuk yang pada akhirnya mempengaruhi kesadaran dan ketaatan warga masyarakat. Masyarakat secara swadaya mengambil langkah-langkah preventif, misalnya masyarakat mulai melakukan pembatasan wilayah teritorial mereka dengan pengadaan portal-portal jalan masuk ke wilayah, pemeriksaan dan pendataan tamu atau orang asing yang masuk lingkungan masyarakat, terdapat pemberlakuan jam malam, dan sebagainya.

Gerakan dari masyarakat untuk lebih serius dalam memahami dan sadar akan pentingnya pembatasan sosial untuk memutus rantai penularan Covid-19, khususnya pada lingkungan masing- masing mulai menjadi fokus masyarakat. Di Kota Tulungagung sebelum kebijakan PPKM diberlakukan, warga pada tingkat RT sudah mulai menguatkan jaring sosial yang mereka miliki untuk fokus pada persoalan yang muncul. Ini menunjukkan fenomena yang positif, dimana muncul kesadaran dan ketaatan masyarakat dari tingkat bawah. Ketaatan setiap individu warga masyarakat dipengaruhi dan didorong oleh beberapa hal yang menjadi alasan, yakni; 1) pilihan antara tidak peduli atau menyelamatkan diri dengan taat pada protokol kesehatan dengan menjaga jarak antara satu dan yang lainnya (social distancing); 2) kewajiban moral kemanusiaan; 3) menjaga harmoni sosial dalam masyarakat; dan 4) adanya sanksi-sanksi hukum yang mengancam.

Pertama, ketaatan yang didorong oleh pilihan tindakan tidak peduli atau menyelamatkan diri dari penyebaran Covid-19 dengan menjaga jarak satu dengan yang lainnya. Tentu saja setiap orang mengambil pilihan untuk peduli dan menyelamatkan diri dari penyebaran Covid-19. Oleh pemerintah, setiap orang dianjurkan untuk menyelamatkan diri karena penyebaran virus sangat mudah, bisa berdampak mematikan dan sampai pertengahan bulan Mei masih belum ditemukan obatnya. Di negara lain, sudah diberlakukan kebijakan lockdown (penguncian) dan Indonesia memilih kebijakan PPKM dengan berbagai konsekuensi. Yang jelas bahwa pandemi ini mengancam jiwa setiap orang, setiap warga.

Kesadaran setiap individu dipengaruhi oleh pengetahuannya. Akibatnya, gerakan Jogo Tonggo

berkontribusi terhadap laju informasi dan edukasi yang sebelumnya tidak terakses oleh sebagian masyarakat. Akses informasi dapat diperoleh masyarakat dengan baik. Seperti yang telah diatur menurut konsep Jogo Tonggo, pada tingkat RW masyarakat membentuk jaring pengaman sosial melalui jaga kesehatan yang dilaksanakan dengan cara; mendata setiap orang yang keluar masuk desa, membawa orang yang berstatus PDP ke rumah sakit rujukan, keterbukaan pada lingkungan tentang status ODP, PDP dan orag positif terjangkit Covid-19 (khususnya dari tenaga medis di Puskesmas), mengupayakan OTG dan ODP melaksanakan karantina mandiri minimal 14 hari, dan bersama memastkan ada tempat cuci tangan pada lokasi strategis, penggunaan masker bagi warga yang keluar rumah, serta penyemprotan disinfektan rutin di lingkungan masyarakat.
Kedua, kesadaran dan ketaatan masyarakat karena dipicu oleh adanya kewajiban moral kemanusiaan. Pada masa pandemi, terdapat kewajiban-kewajiban moral kemanusiaan yang mendorong masyarakat untuk taat terhadap protokol kesehatan yang telah ditetapkan pemerintah. Kewajiban-kewajiban moral kemanusiaan yang mau tidak mau diperhatikan untuk ditaati bersama oleh setiap individu dalam lingkungan masing- masing

didasari rasa ewuh pekewuh (rasa sungkan, tidak enak hati) jika tidak ditaati karena ada sanksi sosial kemanusiaan dari tetangga di lingkungan terdekat. Reaksi netizen dan masyarakat luas pada kasus penolakan oknum masyarakat terhadap pemakaman seorang perawat Rumah Sakit Iskak di Kabupaten Tulungagung yang viral (m.detik.com. 17 April 2020), memberi pelajaran tentang pentingnya nilai moral kemanusiaan pada masa krisis pandemi. Kesadaran sikap dan perilaku masing-masing individu agar sesuai dengan nilai-nilai moral yang dipahami bersama berdasarkan tuntutan nurani masing-masing sehingga memperlakukan suatu hal sebagaimana mestinya.
Pada kasus yang terjadi terhadap pelarangan mudik, bepergian ke luar daerah misalnya, gerakan Jogo Tonggo ini cukup efektif menjadi pendorong setiap orang untuk taat. Peristiwa mudik warga Tulungagung yang diketahui akhirnya positif Covid-19 diketahui dari ada salah satu famili yang meninggal dunia tanpa sebab memberi pelajaran bagi masyarakat. Yang dipetik dari dua peristiwa di atas adalah, setiap orang memiliki kewajiban moral kemanusiaan untuk menjaga kesehatan, keselamatan bersama. Kewajiban moral kemanusiaan ini walaupun sesungguhnya sifatnya memaksa, namun dalam praktiknya tidak absolut. Ini tergantung pada rasa masyarakat, tingkat kesadaran nurani masing-masing individu anggota masyarakat. Dampaknya cukup terlihat dari perilaku disiplin masing-masing anggota masyarakat untuk taat pada protokol kesehatan yang ditetapkan sebelumnya.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top